RUMAH PEMILU - Wacana mengubah sistem Pemilihan Umum (Pemilu) 2024 dari proporsional terbuka ke proporsional tertutup mengemuka dalam beberapa waktu terakhir.
Hal tersebut bermula dari gugatan uji materi terhadap Pasal 168 Ayat (2) Undang-undang (UU) Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilu yang diajukan enam pemohon ke Mahkamah Konstitusi (MK).
Dalam gugatannya, pemohon meminta agar MK menyatakan bahwa pasal tersebut inkonstitusional. Dengan demikian, sistem pemilu di Indonesia dapat diganti dari proporsional terbuka menjadi proporsional tertutup.
Lalu, apa perbedaan sistem pemilu proporsional terbuka dan sistem proporsional tertutup?
Pada sistem proporsional terbuka, pemilih bisa langsung memilih calon anggota legislatif (caleg) yang diusung oleh partai politik peserta pemilu. Surat suara pada pemilihan sistem ini memuat keterangan logo partai politik, berikut nama kader partai politik calon anggota legislatif (caleg).
Pemilih pun dapat mencoblos langsung nama caleg atau parpol peserta pemilu di surat suara. Nantinya, penetapan calon terpilih ditentukan berdasarkan suara terbanyak. Sistem proporsional terbuka digunakan pada Pemilu Legislatif 2004, 2009, 2014, dan 2019.
Sementara itu, pada sistem proporsional tertutup, parpol peserta pemilu yang memilih calon anggota legislatifnya sendiri. Surat suara sistem pemilu proporsional tertutup hanya memuat logo partai politik tanpa rincian nama caleg. Selanjutnya, partai akan akan menyusun nama-nama caleg berdasarkan nomor urut.
Nantinya, calon terpilih ditentukan berdasarkan nomor urut. Jika partai mendapatkan dua kursi, calon terpilih adalah nomor urut 1 dan 2. Sistem pemilu proporsional tertutup pernah diterapkan pada Pemilu 1955, Pemilu Orde Baru, dan Pemilu 1999.
Wacana mengubah sistem Pemilu 2024 sontak menjadi perdebatan. Banyak kalangan menilai, permasalahan yang muncul pada Pemilu 2019 akan kembali terulang pada Pemilu 2024 jika masih menggunakan sistem proporsional daftar terbuka.
Hal tersebut membuat penerapan sistem proporsional daftar tertutup seperti pada Pemilu 1999 dianggap sebagai solusi.
Sekretaris Jenderal Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) Hasto Kristiyanto mengatakan, sistem proporsional terbuka yang mulai diterapkan pada Pemilu 2004 membawa dampak liberalisasi politik.
“Liberalisasi politik mendorong partai politik menjadi partai elektoral. Hal ini menimbulkan dampak kapitalisasi politik, munculnya oligarki politik, serta persaingan bebas dengan segala cara,” ujar Hasto dikutip dari Kompas.com, Minggu (1/1/2023).
Oleh karena itu, PDI-P mengusulkan agar Pemilu 2024 dijalankan dengan sistem proporsional tertutup. Alasannya, peserta pemilu adalah parpol, bukan individu. Sistem proporsional tertutup juga mampu mendorong proses kaderisasi di internal parpol dan mengurangi biaya pemilu secara signifikan.
Selain itu, penerapan sistem proporsional terbuka selama ini berisiko membuat tokoh atau sosok dengan pemahaman politik dan idealisme kuat justru tersingkir karena kalah secara elektoral.
Namun, gagasan tersebut disanggah oleh Partai Nasional Demokrat (Nasdem). Ketua Dewan Pimpinan Pusat (DPP) Nasdem Willy Aditya mengatakan, sistem proporsional terbuka merupakan bentuk kemajuan dalam praktik berdemokrasi.
Menurutnya, sistem tersebut dinilai sebagai antitesis sistem proporsional tertutup yang diterapkan saat Orde Lama dan Orde Baru.
"Sistem proporsional terbuka memungkinkan orang dari beragam latar belakang sosial bisa terlibat dalam politik elektoral. Dengan sistem ini, setiap warga negara bisa turut serta mewarnai proses politik dalam tubuh partai,” katanya.
Komisi Pemilihan Umum (KPU) sempat menyatakan dukungannya terhadap sistem proporsional tertutup.
Pada 14 Oktober 2022, Ketua KPU Hasyim Asy'ari tak menampik jika pemilihan legislatif dengan sistem proporsional tertutup memiliki beberapa kelebihan jika dibandingkan sistem proporsional terbuka.
Salah satunya adalah penyederhanaan surat suara karena satu surat suara berlaku di semua daerah pemilihan (dapil).
"Pasti ada kekurangan dan kelebihan, keunggulan dan kelemahan. Kalau sistem di KPU, sistem proporsional data calon tertutup memiliki desain surat suara simpel," ujar Hasyim.
Namun, pada Kamis (29/12/2022), Hasyim mengatakan bahwa pernyataan tersebut tidak berarti mengubah sistem pemilu di Tanah Air. Dia menegaskan, Indonesia masih menerapkan sistem proporsional terbuka.
Meski demikian, jika MK mengabulkan gugatan pemohon uji materi Pasal 168 Ayat (2), Pemilu 2024 bisa saja menerapkan sistem proporsional tertutup.
“Kalau ditolak, sistem pemilu tetap menggunakan sistem proporsional terbuka,” kata Hasyim di kantor KPU.
Sementara itu, Direktur Eksekutif Algoritma sekaligus Dosen Fakultas Ilmu Sosial dan Ilmu Politik (FISIP) Universitas Indonesia Aditya Perdana menilai, sistem pemilu proporsional terbuka masih yang terbaik untuk demokrasi Indonesia, setidaknya sampai saat ini.
Pasalnya, pada sistem tersebut, pemilih dapat memilih sosok calon legislatif yang kelak akan mewakilinya di parlemen. Sementara itu, dalam sistem proporsional tertutup, pemilih hanya dapat memilih partai politik yang selanjutnya bakal menentukan sepihak siapa kadernya yang berhak duduk di parlemen.
"Idealnya, sistem pemilu itu makin mendekatkan wakil rakyat kepada pemilih, bukan malah semakin menjauhkannya dengan pemilih," ujar Aditya.
Meski memiliki berbagai kekurangan, lanjut Aditya, sistem proporsional terbuka mendorong pemilih mengenali dan mencari tahu latar belakang caleg di dapilnya dengan lebih mudah.
Selain itu, para caleg pun akan berusaha secara konsisten memelihara dan merawat pemilihnya dengan berbagai kegiatan yang sudah dilakukan sebelumnya.
Aditya menilai, wacana perubahan sistem pemilu sebaiknya ditunda dan dilakukan setelah seluruh tahapan Pemilu 2024 dapat berjalan dengan baik.
"Revisi UU Pemilu dan Pilkada dapat dibicarakan secara serius pada 2025 dan seterusnya. Hal ini supaya penyelenggara dan pengawas pemilu dapat fokus menyelenggarakan dan mengawasi tahapan pemilu dengan baik," paparnya.