RUMAH PEMILU - Politik uang menjadi salah satu fenomena yang terjadi di hampir setiap penyelanggaraan pemilihan umum (pemilu). Ini merupakan bentuk penyuapan dengan tujuan membeli suara seseorang untuk memenangkan kandidat tertentu.
Salah satu praktik politik uang yang sering dijumpai di Indonesia adalah serangan fajar. Praktik ini dilakukan dengan memberikan uang kepada pemilih sebelum berangkat ke tempat pemungutan suara (TPS).
Peneliti Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Nurul Amalia Salabi mengatakan, potensi politik uang masih akan terjadi pada Pemilu 2024.
Hal itu, sebut Nurul, didasarkan pada temuan Pusat Pelaporan Analisis dan Transaksi Keuangan (PPATK) mengenai uang ilegal triliunan rupiah yang masuk ke Indonesia.
"Menurut analisis PPATK, selalu ada antrean penukaran uang dalam jumlah besar menjelang pemilu," tutur Nurul, dikutip dari Kompas.com, Senin (19/12/2022).
Ia menilai, politik uang dilakukan oleh orang-orang yang minim pendidikan politik. Saat ini banyak terjadi korupsi politik yang bermula dari praktik politik uang.
"Ada anggapan, 'pemimpin yang peduli pada rakyat adalah mereka yang suka ngasih uang dan barang' itu keliru," ujarnya.
Nurul juga menyebutkan, politik uang masih terjadi karena penegakan hukum di Indonesia yang masih lemah. Bahkan, Kepolisian Republik Indonesia (Polri) sering menolak laporan terkait politik uang dari masyarakat.
Sementara itu, Koordinator Indonesia Corruption Watch (ICW) Agus Sunaryanto mengatakan, politik uang sulit diberantas karena ulah politisi yang tidak berhenti melakukan hal tersebut untuk mendapatkan suara.
“Politik uang tidak boleh diberi toleransi. Politik uang merupakan bagian dari korupsi elektoral yang akan berkembang menjadi korupsi politik ketika para politikus itu menjadi pejabat publik,” tegas Agus seperti diberitakan Kompas.com, Senin (19/12/2022).
Hal senada juga diungkapkan Pengajar Pemilu pada Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan Anggota Dewan Pembina Perludem Titi Anggraini.
Dia menilai, politik uang dalam kontestasi pemilu yang digelar setiap lima tahun sekali akan selalu ada selama integritas peserta pemilu masih rendah. Bahkan, politik uang akan bertransformasi sesuai perkembangan zaman.
“Politik uang di zaman sekarang berkembang dalam bentuk digital vote buying atau membeli suara secara digital untuk memenangkan salah satu calon presiden (capres),” ujarnya seperti dikutip dari berita Kompas.com, Selasa (20/12/2022).
Koordinator Divisi Pencegahan, Partisipasi Masyarakat, dan Humas Bawaslu RI Lolly Suhenty mengatakan, politik uang melalui platform digital atau e-wallet akan menjadi salah satu unsur dalam indeks kerawanan Pemilu 2024 pada konteks digitalisasi.
Lolly menegaskan, pemberantasan politik uang di ranah digital tengah diupayakan meski pihaknya masih memiliki kewenangannya terbatas, termasuk dalam kekosongan dasar hukum.
Langkah Bawaslu hindari politik uang
Untuk mengantisipasi peredaran politik uang pada Pemilu 2024, Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu) RI mengklaim telah menyusun sejumlah langkah strategis.
Lolly mengatakan, kepengurusan Bawaslu saat ini akan mengedepankan upaya pencegahan politik uang. Salah satu caranya dengan merilis indeks kerawanan pemilu yang akan menyoroti subdimensi politik uang.
"Selain itu, (Bawaslu) melakukan sosialisasi pengawasan partisipatif dengan simpul masyarakat di 34 provinsi, salah satu tujuan mendorong gerakan menolak politik uang," katanya seperti diberitakan Kompas.com, Jumat (21/10/2022).
Lolly menambahkan, Bawaslu juga akan melakukan program pendidikan pengawasan partisipatif sebagai bentuk edukasi kepada masyarakat. Edukasi juga akan diberikan kepada para pemilih pemula.
Dalam ranah pengawasan, Bawaslu melakukan pengawasan melekat, khususnya dalam tahapan-tahapan yang rentan terjadi politik uang, seperti kampanye, menjelang pungut hitung, maupun rekapitulasi hasil.
"Kemudian, melakukan patroli pengawasan dengan menggerakkan semua jajaran pengawas dalam tahapan masa tenang dan pungut hitung," jelas mantan anggota Bawaslu Jawa Barat tersebut.
Lolly juga menyinggung soal keberadaan "Desa AMPUH" (antipolitik uang, SARA, dan hoaks) yang diklaim sudah terbentuk di 32 provinsi sejak 2018 sebanyak 956 desa atau kelurahan.
Di sisi lain, dia menyampaikan, konsolidasi dengan para pemantau pemilu akan dijaga. Saat ini, sudah ada 23 lembaga yang terakreditasi sebagai pemantau di tingkat nasional.
"Selain itu, sebagai upaya gerakan antipolitik uang, Bawaslu akan mengampanyekan tagline, 'Jangan terima uangnya, laporkan orangnya'," ujar Lolly.
Untuk politik uang melalui platform digital atau e-wallet, Lolly mengatakan, pihaknya telah memasukkannya ke dalam indeks kerawanan pemilu yang ditargetkan segera rampung pada akhir 2022 atau awal 2023.
"Digitalisasi ruangnya banyak, selain disinformasi, modus bentuk money politic akan menemui keberagaman luar biasa. Memang kami melihatnya sebagai hal yang perlu diwaspadai," katanya.
Koordinator Divisi (Kordiv) Hukum, Penanganan Pelanggaran, dan Penyelesaian Sengketa Bawaslu Bulukumba Bakri Abubakar menyebutkan, terdapat empat cara untuk mencegah politik uang, yakni memaksimalkan sosialisasi, menguatkan pengawasan partisipatif, melakukan patroli pengawasan, serta dengan melakukan penegakan hukum yang tegas.
Menurutnya, sosialisasi kepada masyarakat harus dilakukan secara masif dan berkelanjutan sebagai bentuk penyadaran politik dan upaya pengawasan pemilu.
Untuk pengawasan partisipatif, Bakri menyebutkan, masyarakat dilibatkan dalam pengawasan penyelenggaraan pemilu, seperti bekerja sama dengan organisasi masyarakat sipil, kelompok organisasi keagamaan, organisasi pemuda, perguruan tinggi, dan komunitas strategis lainnya.
Selanjutnya ada kegiatan patroli pengawasan. Bawaslu akan aktif melakukan pengawasan, mengingat langkah ini dijalankan saat hari atau masa tenang yang rentan akan serangan politik uang.
“Tentu patroli pengawasan politik uang ini harus dilakukan secara terstruktur hingga Pengawas Tempat Pemungutan Suara (PTPS),” tulisnya dalam bulukumba.bawaslu.go.id.
Kemudian, Bakri menegaskan, penegakkan hukum yang tegas bagi siapa saja yang diduga melakukan pelanggaran pada penyelenggaraan pemilu.
“Penegakan hukum yang tegas akan menjadi pembelajaran bagi mereka yang selalu melakukan tindakan politik uang dalam pemilu,” sebutnya.