RUMAH PEMILU – Pernah mendengar istilah “cebong”, “kampret”, atau “cebong vs kampret”?
Untuk diketahui, ketiga istilah itu merupakan residu dari rivalitas politik pada Pemilihan Umum (Pemilu) 2014 dan 2019 yang menyebabkan keterbelahan di tengah masyarakat.
Istilah “cebong” dan “kampret” sendiri merupakan sebutan bagi pendukung masing-masing pasangan calon presiden (capres) dan calon wakil presiden (cawapres) yang berlaga pada Pemilu 2014. Mereka adalah Joko Widodo-Jusuf Kalla dan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa.
Narasi “cebong vs kampret” terus menggema hingga Pemilu 2019. Pasalnya, kedua capres tersebut kembali bertemu saat itu dengan cawapres berbeda. Formasinya adalah Joko Widodo-Ma’ruf Amin dan Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Meski kontestasi politik itu telah berlalu, kedua istilah tersebut masih berdengung hingga kini. Bahkan, polarisasi akibat perbedaan pilihan politik dikhawatirkan akan mencuat kembali di Pemilu 2024.
Berdasarkan hasil kajian Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), terdapat lima isu strategis yang berpotensi menimbulkan kerawanan pada Pemilu 2024.
Kelima isu itu terdiri dari netralitas penyelenggara pemilu, pelaksanaan pemilu di provinsi baru, polarisasi masyarakat, mitigasi dampak penggunaan media sosial (medsos), dan pemenuhan hak memilih dan dipilih.
Laporan Bawaslu yang dimuat Kompas.id, Senin (16/1/2023), juga menemukan bahwa risiko tersebut paling tinggi terjadi di lima wilayah, yaitu DKI Jakarta, Sulawesi Utara, Maluku Utara, Jawa Barat, dan Kalimantan Timur.
Kelima provinsi itu, berdasarkan hasil pengukuran memang memiliki skor kerawanan yang tinggi pada setiap dimensi pengukuran, yaitu pada konteks sosial politik, penyelengaraan pemilu, kontestasi, dan partisipasi.
Pemicu polarisasi kala pemilu
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas yang dilakukan pada akhir Mei 2022, terdapat sejumlah hal yang memicu polarisasi masyarakat saat pemilu.
Pertama, orang-orang yang secara sadar memperkeruh situasi. Mereka ini termasuk buzzer atau influencer yang kerap mengunggah konten-konten provokatif dengan tujuan menjatuhkan kubu lawan politik.
Kedua, penyebaran informasi yang tidak lengkap ataupun hoaks di berbagai platform medsos. Atas dasar kebebasan berekspresi, tak sedikit pula orang yang sengaja melakukan provokasi atau agitasi. Hal ini semakin memperuncing polarisasi antarkubu politik yang berkontestasi.
Ketiga, kurangnya peran tokoh bangsa dalam meredam perselisihan. Keempat, minimnya semangat persatuan, terlalu mementingkan kepentingan kelompok sendiri, serta tidak menerapkan nilai-nilai Pancasila dalam kehidupan sehari-hari.
Cegah polarisasi
Melihat temuan tersebut, penyelenggaraan Pemilu 2024 bisa dibilang memang akan jauh lebih menantang dan kompleks. Jangan sampai polarisasi atau narasi-narasi pemecah belah seperti “cebong vs kampret” menggaung kembali.
Sebab, merujuk kembali studi Litbang Kompas yang dimuat Kompas.id, Senin (6/6/2022), itu, polarisasi bakal merusak iklim demokrasi di Indonesia jika dibiarkan.
Karena itu, semua pihak dari berbagai elemen perlu memperkuat kohesi. Polarisasi politik pada dasarnya bisa dicegah dengan dimulai dari elit politik itu sendiri. Sekalipun bersaing, lakukanlah secara sehat dan tidak saling menjegal. Jangan membangun politik identitas, narasi-narasi provokasi, framing, atau labeling yang menjatuhkan lawan.
Langkah tersebut tentunya akan semakin optimal dengan partisipasi masyarakat yang bakal menjadi calon pemilih pada Pemilu 2024. Jadilah pemilih rasional yang menitikberatkan pilihan pada visi, misi dan program kerja calon pemimpin. Hindari memilih berdasarkan hal-hal irasional, seperti kesukuan, agama, atau ras.
Selain itu, masyarakat juga perlu meningkatkan literasi media. Terapkan kebiasaan check and recheck terhadap segala informasi yang beredar di medsos. Apalagi, pada konten-konten yang bersifat provokatif.